Jejak Online







  



Newsletter LEAD Cohort 9

JejakUTAMA
WAJAH (BOPENG) KITAKAH?

Fetty Fajriati, RCTI, Jakarta

Saat berkunjung ke Mesjid para kaum Shufi, di tengah-tengah penyelenggaraan Sesi PelatihanInternasional Lead untuk Cohort 9 di Pakistan, seorang peserta- atau dalam istilah LEAD disebeut associate- asal Russia bernama Larisa didatangi anak perempuan berusia delapan tahunan. Anak yang berpakaian lusuh itu menyodorkan tangannya ke hadapan Larisa. Melihat itu, Larisa segera menarik uang kertas dua rupee dari kantong celananya dan memberikan kepada gadis kecil itu. Tak lama kemudian segerombolan anak-anak berpakaian lusuh mendatangi Larisa sambil menyodorkan telapak tangan yang terbuka. "No, no. I don't have more money". Larisa menampik mereka dengan bahasa Inggris beraksen rusia yang kental. Ia berpura-pura acuh, dan berjalan bersama rombongan tur untuk melihat makam para kaum Shufi yang terletak di sebuah Mesjid besar di kota Lahore.

Namun anak-anak itu terus mengikuti. Melihat gelagat anak-anak negerinya yang memalukan itu, associate asal Pakistan, Khalid Rasul, mengusir mereka dengan bahasa Urdu. Tidak kepada Larisa, anak-anak itu malah beralih kepada associate lain. Merasa kewalahan, Khalid meminta petugas berpakaian polisi untuk mengusir mereka. Melihat petugas itu, serta merta anak-anak itu menyingkir, beberapa dari mereka tidak cukup beruntung sehingga terkena pukulan petugas itu.

Saat berada di atas bus yang membawa beberapa cohortist ke Lahore University of Management and Scients (LUMS), gadis kecil itu kembali menghampiri kami. Kali ini ia membawa dua orang adiknya. Mata-mata nanar mereka yang memandang kami dari jendela membuat hati saya tersentuh. Meski tidak membawa mata uang rupee satu sen pun, tetapi rasanya saya ingin memberikan sesuatu. Maka beranjaklah saya ke pintu, dan memberikan mereka gelang-gelang Pakistan yang saya peroleh seusai mengikuti sebuah modul di LUMS, pagi tadi.

Mata nanar mereka berubah menjadi suka cita. Dari bibir mereka terdengar kalimat: "Syukriyah....". yang saya ketahui artinya sebagai "terima kasih". Dan ketika bus berangkat, mereka melepas kepergian kami dengan lambaian tangan suka cita. Saya baru menyadari bahwa mereka bukan pengemis. Mereka ternyata tidak sekedar mengharapkan uang dari kami, tetapi lebih pada 'sesuatu' yang mereka anggap bisa mereka miliki layaknya seperti kami memiliki.

Kemudian, pada kesempatan lain, kembali saya melihat pemandangan yang menyentuh naluri saya, ketika grup kami berada di Karachi, kota yang menjadi tempat kunjungan (site visit) dalam LEAD International Training Sesion ini. Tiga hari kunjungan ke beberapa wilayah dan institusi di Karachi, menjadi kegiatan yang menyenangkan dan penuh pengalaman. Tetapi juga menjadi pengalaman tidak menyenangkan ditinjau dari penyediaan makanan. Menu lunch box yang disediakan bagi para associate di grup kami, selama tiga hari tidak beranjak dari ayam goreng rasa kari dan roti lapis keju.

Pada hari ketiga kunjungan, nampaknya para associate di grup kami merasa jenuh untuk menyantap makan siang, apa lagi setelah mengunjungi hutan bakau di wilayah selatan Karachi yang menebarkan aroma polusi yang sangat menyengat. Sehingga setibanya kami di Desa Orangi, desa kecil dengan kepadatan penduduk cukup tinggi, lunch box kami 'buang' ke sudut ruangan sebuah LSM yang kami datangi.

Tak lama setelah mendengar uraian mengenai proyek LSM itu, kami pun masuk ke dalam bus, siap untuk berangkat ke tempat lainnya. Namun, saat bus bergerak mata saya tertumpu pada suatu gerakan. Di sana, di tempat kami 'membuang' kotak-kotak makanan kami, bergerumun anak-anak desa yang asyik membuka dan memakan isi kotak-kotak itu. Lagi-lagi mereka bukan pengemis. Mereka adalah anak-anak kaum papa, yang hanya ingin menikmati makanan enak dari hotel berbintang empat.

Tanpa mempertimbangkan sehat tidaknya memakan isi kotak yang sebagian telah 'terkoyak', mereka melahap dengan malu-malu saat mengetahui sorot mata kami masih mengikuti gerak gerik mereka. Ironis memang. Tetapi itu lah mereka, anak-anak negeri di negara yang bernama Islam-i Jamhuriya-e Pakistan. Mereka ingin meminta, namun tidak berani menatap sorot mata yang menuding mereka sebagai pengemis.

Karachi memang kota yang terbilang kumuh dan polusi. Jalan raya yang luasnya tidak seluas jalan-jalan di Jakarta harus dibagi dengan manusia, kendaraan beroda, dan hewan piaraan. Unik memang, tetapi tidak seunik kota Jakarta, yang membagi jalan raya dengan para pengemis, pengamen dan preman yang bebas menjadikan perempatan jalan dan lampu merah sebagai lahan mengeruk rejeki. Padahal di setiap jalan di Jakarta, baik yang terlihat kumuh atau apik, mobil-mobil mewah keluaran mutakhir, marak berseliweran.

Tak ayal, pengemis anak-anak di Pakistan akhirnya menjadi sorot perhatian saya. Setiba di Lahore, saya mulai mengamati keberadaan pengemis anak-anak di sana. Meski tidak terkejut, namun saya cukup terkesan karena tidak banyak pengemis anak-anak yang berseliweran di perempatan atau di lampu merah jalan. Ini bisa jadi karena di Pakistan tidak terdapat banyak lampu merah. Dan bila pun ada pengemis di perempatan jalan, itu bukan anak-anak. Biasanya, pengemis anak-anak melakukan 'aksi'nya di pasar-pasar.

Seorang associate asal Pakistan, Muhammad Pervaz, yang bekerja untuk pemerintah menjawab keingintahuan saya. Menurutnya, beberapa tahun lalu, pengemis anak-anak sempat berkeliaran di perempatan-perempatan jalan. Kondisi mereka sangat kumuh, bahkan ada beberapa dari mereka bertangan buntung. Untuk mendapatkan belas kasihan dari orang, mereka rela membiarkan tangan mereka dipotong oleh orang dewasa yang mempekerjakan mereka sebagai pengemis. Namun, Pervaz meyakinkan saya, kini anak-anak pengemis itu tidak tampak lagi karena telah direhabilitasi. Dan Pemerintah Pakistan menetapkan hukuman mati bagi orang dewasa yang mempekerjakan anak-anak sebagai pengemis.

Untuk menghindari maraknya keberadaan pengemis di jalan, pemerintah Pakistan mendorong mobilisasi masyarakat baik melalui LSM atau tempat-tempat ibadah. Salah satunya kegiatan mengayomi kaum papa terlihat di mesjid para kaum Shufi di Lahore dan pad proyek Orangi di Karachi. Di mesjid kaum Shufi ada tempat yang menyediakan makan gratis setiap usai sholat maghrib bagi kaum dhuafa. Di desa Orangi, Karachi, ada proyek yang membantu kaum lemah dalam meningkatkan pendidikan, dan kualitas hidup.

Meski demikian, bukan berarti pemerintah Pakistan terbebas dari masalah anak-anak terlantar. Dengan kemiskinan dan konflik regional yang mewarnai kehidupan masyarakatnya, tak ayal masalah kesejahteraan anak menjadi beban berat bagi pemerintah Pakistan. Tak heran, jika kami banyak melihat anak-anak bekerja sebagai buruh di pabrik-pabrik kulit yang juga menjadi tempat kunjungan kami selama di Karachi. Anak-anak juga menjadi aset bagi para orang tua yang mendapat pemasukan dari bertani dan berdagang.

Meski mengenyam kerasnya kehidupan, kondisi anak-anak miskin di Pakistan tidaklah seburuk kondisi anak-anak miskin di Indonesia. Di kota Jakarta saja misalnya, anak-anak berusia sekolah dasar sudah akrab dengan kekerasan, penipuan, bahkan sex. Anak-anak bertengkar di jalan, merokok, mengemis dan mengamen adalah gambaran umum yang bisa dilihat di setiap perempatan di jalan-jalan raya Jakarta. Ironis memang. padahal bila dibandingkan Pakistan, Indonesia lebih kaya. Selain itu, Indonesia memiliki lahan yang lebih subur ketimbang Pakistan yang sebagian wilayahnya diselimuti gurun pasir.

Menurut data World Bank, GNP per capita Indonesia tahun 1999 tercatat sebesar US$ 580. Memang, setelah krisis ekonomi tahun 1998, nilai ini turun hampir dua kali lipat dari GNP percapita tahun 1996 yang mencapai US$ 1080. Namun, GNP percapita Indonesia hingga saat ini tidak menjadi lebih rendah dari Pakistan. GNP percapita Pakistan tahun 1999/2000 adalah US$ 443, turun dari tahun1998 yang mencapai US$ 470.

Namun ironisnya, sejak krisis itu, hampir 30 persen dari semua anak-anak usia sekolah di Indonesia, kehilangan kesempatan untuk mengenyam pendidikan. Anak-anak putus sekolah mulai bermunculan. Sebagai akibatnya, di kota-kota besar bermunculan anak-anak yang bekerja menjadi loper koran, pembersih kaca mobil, pengamen, 'polisi cepek' dan juga pengemis. Mereka bekerja, atau lebih tepatnya dipekerjakan, dengan alasan untuk membiayai sekolah.

Meski dilanda krisis ekonomi, Pemerintah Indonesia tidak tinggal diam mengatasi masalah anak-anak putus sekolah ini. Akhir tahun 1998, Pemerintah menggandeng Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia yang akhirnya menyuntikkan dana sebesar US$ 133 juta atau sekitar 1,4 trilyun rupiah (nilai saat itu). Pemerintah menggunakan dana ini untuk membiayai program pendidikan bagi anak putus sekolah, yang kemudian dikenal dengan program 'Ayo Sekolah'. Selain itu, Pemerintah juga membebaskan SPP bagi siswa-siswa yang tergolong rawan ekonomi.

Tidak hanya pemerintah, LSM dan lembaga-lembaga lain seperti GN OTA, juga tak kalah gesit membantu anak-anak untuk tidak 'turun' ke jalan. Belum lagi bantuan dari lembaga internasional, seperti IMF yang mensyaratkan Indonesia untuk mencanangkan program pemberian bea siswa melalui dana Jaring Pengaman Sosial (JPS) sebesar US$ 300 juta yang IMF turunkan pada Januari 2000.

Ketimbang Pakistan, kita jauh lebih beruntung. Meski mengalami konflik etnik di beberapa daerah, Indonesia tidak ditinggalkan oleh lembaga-lembaga donatur Internasional. Sementara, Pakistan dengan kemiskinan yang akut, malah menerima embargo internasional akibat keengganan negara ini menandatangani perjanjian anti-penggunaan senjata nuklir. Selain itu, keretakan hubungan Pakistan dengan negara tetangganya India, juga tidak mendukung masuknya investasi internasional.

Namun anehnya, di Indonesia,- khususnya di kota-kota besar- anak-anak jalanan yang menyandang profesi dari pengemis hingga pengamen semakin banyak. Pembebasan SPP, Program GN OTA, dan bea siswa tidak mendorong anak-anak kembali ke bangku sekolah. Enrollment ratio terhadap anak-anak sekolah dasar yang mencapai 99 persen, tidak menunjukkan bahwa anak-anak Indonesia bebas dari tekanan kemiskinan. Tekanan ekonomi inilah yang mungkin mendorong mereka ke jalanan.

Kemungkinan lain adalah karena adanya kesempatan beraktivitas yang berbeda bagi anak-anak Indonesia dan Pakistan. Di Pakistan, peluang kerja bagi buruh anak di usaha garmen dan kulit menarik anak-anak untuk tidak turun ke jalanan. Ditambah lagi, adanya penerapan hukum yang ketat bagi orang dewasa yang menjadikan anak-anak pengemis. Di Indonesia, faktor penarik anak-anak dari jalanan tidak ada, sementara faktor pendorong cukup tinggi. Tidak adanya aktivitas di luar sekolah, tekanan ekonomi, dan kesenjangan antara si miskin dan si kaya, mendorong anak-anak terjun menjadi pengemis.

Seharusnya, dana-dana internasional yang masuk ke Indonesia dapat mencegah anak-anak untuk mengemis. Namun kenyataannya, tidak banyak anak-anak yang terjangkau oleh dana bantuan tersebut. Karena bantuan, baik yang datang dari luar mau pun dalam negeri, acap hilang atau 'nyasar' di jalan. Oleh karena itu, tidak mengherankan bila akhirnya anak-anak yang seharusnya tertolong oleh dana bantuan itu, malah berkeliaran di jalanan.

Semua kemungkinan ini memang masih memerlukan pembuktian, Apa pun yang menjadi penyebabnya, kehadiran anak-anak pengemis di jalan-jalan membuat negera kita tampak sangat miskin, bahkan lebih miskin dari Pakistan yang dikenal dengan sebutan "low income country". Semua ini, saya pikir, dikarenakan oleh ketidakmampuan kita dalam mengolah kekayaan alam kita, dan mengayomi fakir miskin dan anak-anak terlantar. Haruskah kita berdiam diri dan membiarkan ancaman lost generation menari di depan mata? ***