Jejak Online







  



Newsletter LEAD Cohort 9

JejakAKHIR
KUNCINYA, INISIATIF LOKAL

Budi Putra, Harian Mimbar Minang, Padang

MENURUT standar Bank Dunia, Pakistan adalah salah satu dari sekian banyak negara berkembang, seperti Indonesia. Tapi yang namanya standar "negara berkembang" tetap saja menurut perspektif ekonomi, tanpa apresiasi dan pendekatan budaya dan kearifan lokal. Uraian berikut menunjukkan betapapun masih belum majunya Pakistan dalam segi ekonomi, inisiatif masyarakatnya ternyata tidak sulit untuk digerakkan - suatu hal yang sebenarnya terkait dengan kultur mereka. Dan ini merupakan modal utama untuk keluar dari krisis dan mencapai kemajuan di masa yang akan datang - dengan atau tanpa bantuan lembaga donor macam Bank Dunia.

Topografi Pakistan terdiri dari kawasan pegunungan Transhimalaya, dataran tinggi, gurun serta lembah sungai Indus yang menjadi kawasan pertanian tersubur. Pertanian menjadi andalan ekonomi Pakistan, selain industri ringan. Komoditas pertanian unggulannya adalah beras, gandum dan kapas. Besarnya potensi pertanian Pakistan membuat ia sempat mencapai swasembada pangan.

Sedangkan industri beratnya yang dinasionalisasi pada 1971, malah mengalami kebangkrutan. Satu-satunya bahan tambang andalan hanyalah gas alam. Kondisi ini menyebabkan perekonomian Pakistan relatif tertinggal. Apalagi sektor pertanian tak mampu lagi memikul beban jumlah penduduk yang tinggi. Akibatnya tingkat urbanisasi penduduk yang semula 70 persen diantaranya tinggal di desa sangat besar. Kota-kota besar selain Islamabad seperti Karachi, Hyderabad dan Lahore, dihiasi pemukiman kumuh.

Pakistan adalah negeri yang sangat beragam, dengan ketergantungan masyarakatnya yang amat tinggi terhadap basis-basis sumber daya dan ekosistem untuk bertahan hidup. Pola pembangunan yang diterapkan cenderung mengabaikan pemerataan. Lahan dan aset-aset industri sama sekali tidak merata terdistribusikan.

Kebijakan sentralistik baik di tingkat pemerintahan federal maupun provinsi, menyebabkan kesenjangan (disparitas) yang amat menyolok. Tingkat kemiskinan absolut, yang terjadi pada dekade 1970-an dan 1980-an, malah meningkat di tahun 1980-an, belum lagi inflasi sampai 11 % pada dekade 1990-an.

Dengan hutang luar negeri sebesar USD 36 miliar, ekonomi Pakistan boleh dikatakan amat goyah. Dengan performa ekonomi yang demikian dan masih berlangsung sampai sekarang, masih lemahnya penataan (governance), baik di tingkat pemerintahan maupun di masyarakat sendiri, menjadi isu utama yang dihadapi Pakistan dewasa ini. Hal itu diperburuk lagi oleh instabilitas politik akibat pertikaian kalangan sipil dan militer.

Sebagaimana lazimnya terjadi di negara-negara berkembang, pangkal bala kegagalan pembangunan ekonomi di Pakistan akibat pola yang dipilih adalah memacu pertumbuhan ekonomi. Skema ini membenturkan tujuan yang hendak dicapai pertumbuhan ekonomi dengan kondisi ideal pengembangan masyarakat di tingkat akar rumput (grass root).

Dalam 50 tahun terakhir, pendekatan sektor publik terhadap pengembangan masyarakat di masyarakat sangat dicirikan oleh pergeseran yang tidak sistematik dan tidak terencana dari modernisasi pertanian ke pengembangan pedesaan yang integral, infrastruktur dan sumberdaya manusia. Penyebabnya antara lain, kurangnya komitmen politik, manajemen yang buruk, alokasi sumberdaya yang amburadul, dan menafikan partisipasi publik.

Menurut Tariq Husain, doktor ekonomi lulusan University of Chicago, kondisi semacam itulah yang kemudian mengundang munculnya lembaga-lembaga yang mempromosikan program pengembangan masyarakat (community development). "Tanpa menunggu-nunggu respon pemerintah, inisiatif-inisiatif lembaga, maupun individu-individu di masyarakat bermunculan," ujar Managing Director Enterprise adn Development Consulting (Pvt) Ltd, Islamabad.

Dalam skema ini, menurut Tariq, masyarakat dirangsang untuk mengorganisir diri mereka sendiri untuk mewujudkan kemitraan pembangunan dengan organisasi yang berbasis masyarakat.

Saat ini, ada tiga kategori utama organisasi semacam itu yang bekerja dalam wilayah pertanian dan pembangunan pedesaan maupun dalam pengembangan infrastruktur masyarakat urban. Kategori pertama, organisasi tingkat nasional untuk capacity building (peningkatan kapasitas masyarakat) ataupun funding (penyandang dana). Kedua, organisasi pendukung yang bekerja langsung dengan organisasi berbasis masyarakat di kawasan-kawasan khusus, yang membantu masyarakat untuk mengembangkan partisipasinya. Dan ketiga, program pendukung pembangunan pedesaan alias Rural Support Program (RSP).

Menurut Shandana Khan, seorang motor penggerak RSP, pada tahun 1991, UNDP mengumumkan ada 4.833 LSM di Sindh. Pada tahun 1994, dilaporkan jumlah itu bertambah menjadi 8.547 organisasi. "Tumbuhnya organisasi semacam ini akan mempercepat pertumbuhan Pakistan di masa datang, terutama kapasitas dan inisiatif masyarakat lokalnya," ujarnya.

Village AID Programme (V-AID) misalnya, adalah organisasi pelopor dalam bidang pengembangan masyarakat. Didirikan tahun 1952, lembaga ini dimaksudkan sebagai wadah koordinasi antara sejumlah departemen pemerintahan dengan kelompok di masyarakat. Program ini sudah berjalan beberapa tahun, namun tak bisa dihilangkan kesan bahwa program ini lebih merupakan exercise administratif ketimbang pengembangan masyarakat.

Sedangkan Rural Work Program (RWP) yang berdiri tahun 1963 ditujukan untuk menciptakan infrastruktur fisik, peningkatan pendapatan dan pengembangan ekonomi di seluruh negeri. Program ini, sebagai yang terdahulu, tidak terfokus oleh gangguan-gangguan yang muncul akibat kepentingan-kepentingan tertentu di pemerintahan.

Barulah pada tahun 1972, didirikan the Integrated Rural Development Programme (IRDP) yang bertujuan meningkatkan kondisi populasi di pedesaan melalui partisipasi masyarakat lokal dalam pengambilan keputusan, perencanaan dan implementasi. Tujuan utama gerakan ini adalah mendorong berbagai lembaga publik di tingkat lokal yang disebut markaz. Proyek-proyek yang berhasil dilaksanakan adalah penyedian air minum, sanitasi, kesehatan, pendidikan, kesempatan kerja dan partisipasi kaum wanita. Namun, karena ketiadaan peran pemerintah lokal terutama dalam melakukan assessment, program ini tidak berhasil mencapai tujuan sebagaimana yang diharapkan.

Perubahan rezim pemerintahan pada tahun 1990 juga membawa perubahan pada organisasi pengembangan masyarakat ini. Saat itu, diluncurkan Tameer-e-Watan Programme yang memfokuskan diri dalam pencapaian keseimbangan sosial dan memperkokoh kerangka sosial untuk pembangunan ekonomi.

Program yang paling sukses mungkin Orangi Pilot Project (OPP) yang dilaksanakan di kawasan pemukiman kumuh di Karachi. Program ini adalah pemberdayan inisiatif masyarakat lokal untuk memperbaiki taraf hidupnya.

Sebagai salah satu kota terbesar di Pakistan, Karachi merupakan sarang urbanisasi yang cukup besar. Namun ini melahirkan ratusan titik perkampungan kumuh yang disebut katchi abadi. Dimulai tahun 1980, OPP digagas pertama kali oleh Akhtar Hameed Khan, yang mengorganisir 20 keluarga untuk bekerja dengan kemampuan dan modal sendiri untuk memperbaiki sistem drainase dan pengadaan air minum hingga memperbaiki jalan. Keberhasilan ini menginspirasi anggota masyarakat yang lain untuk berinisiatif untuk melakukan apa saja untuk memajukan perkampungannya. Mereka punya konsep gotong-royong dalam arti yang sesungguhnya!

OPP merupakan program pengembangan masyarakat yang sangat unik: diminati masyarakat dengan nol persen kontribusi pemerintah lokal. Sebab, bila menunggu subsidi dari pemerintah, hidup mereka tidak akan berubah, karena itu tak mungkin ada.

Bagaimana kiatnya? "Dengarkan mereka, dan berdayakan mereka (listen to them, and empower them)," ujar Ali Tauqeer Sheikh, National Program Director LEAD Pakistan. Berbuatlah sesuatu untuk kita semua, begitu mungkin jurus ampuh masyarakat di perkampungan kumuh di Karachi untuk secara perlahan memajukan kawasan tempat tinggalnya. Dan itu hanya menunggu waktu.***