Jejak Online







  



Newsletter LEAD Cohort 9

JejakGUMAM
PAKISTAN IS ACHA

Anjelita Malik, Departemen Kimpraswil, Jakarta

Ada banyak sekali pertanyaan yang berputar di kepala sebelum pesawat mendarat di bandara Lahore International. Pengalaman seperti apa yang akan saya temui di sana? Seperti apakah orang-orang di Pakistan? Apakah mereka seperti kita? Bagaimana dengan makanannya? Amankah di sana? (tepatnya, lebih tidak amankah dia dari Jakarta?) Terus terang, walaupun saya excited sekali sebelum berangkat, saya menyiapkan diri untuk menghadapi hal-hal yang tidak terbayangkan.

Tapi ternyata saya tidak siap untuk menerima kesan yang sangat mendalam selama dua minggu di sana. Saya terus terheran-heran menemukan ilmu-ilmu yang baru bagi saya, kebesaran budaya, keramahan yang tidak putus-putusnya dan juga kesederhanaan pada orang-orang yang saya temui. Tidak jauh berbeda dari negara kita, Indonesia, reputasi Pakistan sebagai negara dengan berbagai konflik lebih bergaung di luar negeri. Ketika datang dan menemukan bahwa mereka terus menjalani kehidupan dengan tenang, teringat berbagai macam orang di jalan-jalan di kota Jakarta, yang terus menjalani hidup walaupun berbagai konflik sedang terjadi dan berbagai macam berita pula yang sampai di luar negeri.

Masih lekat dalam ingatan saya nikmatnya makan malam pertama di Pakistan (perut benar-benar sudah keroncongan), juga akan kebingungan saya ketika penjaga kantin kecil itu menagih pembayaran (apakah LEAD sedang krisis keuangan tanpa kita ketahui?), juga akan pandangan jijik dan tidak percaya Rachma ketika mendengar bagaimana 'bersihnya' mereka mengelap piring-piring di sana. Ternyata, kali pertama kami makan di sana tersebut, kami nyasar ke kantin mahasiswa Lahore University of Management Science, padahal ruang makan sekelas hotel berbintang telah menunggu kami. Namun, pengalaman kecil ini tidak mencegah saya menyukai naan, nasi biryani, chicken masala, mutton curry, es krim rempah yang saya temui di pasar dan banyak lagi (walaupun setelah seminggu, satu gigitan cheeseburger McDonald rasanya seperti membawa saya pulang ke Jakarta).

Satu hal yang saya sayangkan dari perjalanan ini adalah padatnya jadwal mengakibatkan terbatasnya waktu untuk melihat-lihat kota tempat kami tinggal. Selama di Lahore dan Karachi (site visit kelompok saya), sedikit sekali waktu untuk melihat kota. Kebanyakan hanya di malam hari. Sedikit waktu tersebut dipergunakan untuk melihat sisa kemegahan dinasti para moghul di Fort Lahore dan mesjidnya, menyusuri Anarkali Market yang panjang dan buka sampai malam sekali, mengunjungi Minar-e-Pakistan, yang menyimpan kenangan saat partai Islam pimpinan Mohammad Ali Jinnah, sang Bapak Bangsa (Quaid-i-Azzam), baru didirikan sebagai cikal bakal negara Pakistan dan tentu saja berbelanja di pasar-pasar Lahore yang menawarkan harga yang relatif murah.

Di Karachi, walaupun waktunya sangat singkat, kesan sangat kuat yang terasa adalah it feels like home. Bagi penghuni Jakarta seperti saya, mungkin tidak sulit untuk merasa begitu di Karachi, sang ibukota niaga dan keuangan Pakistan. Dengan pengemudi kendaraan yang rata-rata bisa menyaingi kegesitan dan ugal-ugalannya pengemudi Jakarta, Karachi menawarkan keramaikan dan modernitas yang lain dari kota-kota lain.

Namun dari semuanya, yang paling saya kagumi adalah orang-orang Pakistan. The Pakistanis. Keramahan dan kesederhanaan yang saya temui benar-benar tidak saya duga. Begitu inginnya mereka mengetahui tentang Indonesia, tentang pekerjaan saya, tentang kegiatan saya di Jakarta, dan seribu satu pertanyaan lainnya (dan saya tidak pernah tahan untuk tidak bertanya kembali!).

Ketika seorang Shakeela, gadis muda resepsionis hostel saya, menghadiahi sebuah lukisan tattoo mehndi yang indah di tangan kiri saya, saya tahu bahwa saya telah mendapatkan sahabat baru di sana. Ketika seorang Hussain membantu mengirimkan (dan membayar perangkonya) surat saya pada saat saya benar-benar tidak punya waktu lagi, saya tahu bahwa saya tidak akan pernah lupa pada berbagai pertolongan mereka. Ketika seorang Abbas meluangkan waktunya sepulang kerja untuk mengantar saya mengitari Karachi di malam hari, saya tahu bahwa mereka sangat ingin orang asing melihat bagaimana sebenarnya negara mereka. Ketika seorang Kamran bercerita pada keluarganya tentang sahabat barunya dari Indonesia, saya tahu bahwa, seperti saya, mereka juga menyisakan satu sudut kecil di hati mereka untuk persahabatan yang telah terjalin.

Dengan mengambil makna kedua kata acha (selain OK), tidak sulit bagi saya untuk menggambarkan semua kesan ini dalam satu kalimat. Pakistan is acha. Pakistan is good.***